Oleh Ridhazia
Jika Buddha, Yesus Kristus, Socrates, Shakespeare, Arjuna, Krishna di meja makan bersama, saya tidak bisa melihat mereka bertengkar. Itu ilustrasi penulis Hugh Jackman (1968) tentang efek makan bersama itu menguatkan relasi antarmanusia yang beradab.
Para psikolog klinis sepakat kalau meja makan menjadi solusi untuk merekatkan relasi dan kehangatan. Bahkan beberapa diplomat mengaku percakapan penting kerap terjadi di meja makan.
Komunikasi politik meja makan juga dipilih Presiden Amerika Serikat Barack Obama dengan Presiden Rusia Dmitry Medvedev di Ray’s Hell Burger di Arlington, Virginia ketika menegosiasikan soal pelucutan nuklir.
Demikian pula dengan presiden Jokowi ketika menjamu tiga bakal calon presiden, yaitu Prabowo Subianto, Ganjar Pranowo, dan Anies Baswedan di Istana Merdeka, Jakarta, Senin (30/10). Empat tokoh itu berbagi makanan di meja bulat di antaranya lontong, nasi, rolade ayam, ayam bumbu kecap, hingga tahu bacem
Sejarah telah mencatat makanan menjadi alat diplomasi yang baik, koneksi yang positif yang bisa menghubungkan antarmanusia, budaya, dan politik.*
* Ridhazia, dosen senior Fidkom UIN Sunan Gunung Djati, jurnalis dan kolumnis, pemerhati komunikasi sosial politik, bermukim di Vila Bumi Panyawangan, Cileunyi, Kabupaten Bandung, Jawa Barat.