Oleh Ridhazia
Kali pertama sejak Orde Baru tumbang tahun 1998 ada pernyataan maaf dari keluarga Presiden Soeharto sebagaimana dinyatakan Mbak Tutut Soeharto. Sekaligus berharap dihapuskan segala salah dan khilaf ayahnya selama 32 tahun memimpin Indonesia.
Sebenarnya permintaan maaf serupa pernah disampaikan langsung Presiden Soeharto saat membacakan pernyataan lengsernya pada 21 Mei 1998.
Tapi respons politik tidak menyegerakan untuk memberi maaf hingga wafat mantan presiden itu 27 Januari 2008.
Baru pada era reformasi, proses hukum Soeharto dihentikan. Bahkan MPR juga sudah meniadakan nama Soeharto dalam dokumen konstitusi terkait dugaan kejahatan politik sebagaimana Ketetapan MPR Nomor 11 Tahun 1998.
PDIP : Pembelokan Sejarah
PDIP menolak keras permintaan maaf politik. Bahkan pihaknya juga menegaskan tidak akan sejalan dengan gagasan jika Presiden ke-2 RI Soeharto diberi gelar pahlawan nasional.
Alasan penolakan PDIP karena gerakan reformasi yang mengakhiri kekuasaan Orde Baru justru disebabkan oleh tindakan Soeharto selama berkuasa.
Itu sebabnya, partai Banteng tidak sepakat soal penghapusan Soeharto dari TAP MPR sebagai upaya pembelokan terhadap sejarah reformasi.
Pemaafan Politik
Forgiveness (pemaafan) itu kesediaan untuk meninggalkan kekeliruan masa lalu yang menyakitkan. Antara lain membebaskan dendam, rasa kesal, marah, dan kecewa kepada siapa pun yang meminta maaf.
Menurut Robert D. Enright dan Anthony Dio, dalam Emotional Quality Management: Refleksi, Revisi, dan Revitalisasi Hidup Melalui Kekuatan Emosi, (2003), forgiveness adalah kesedian seseorang meninggalkan kemarahan, penilaian negatif, dan perilaku acuh-tak acuh terhadap orang lain yang telah menyakitinya secara tidak adil.
Dalam konteks politik, pemaafan bukanlah „melupakan‟ masa lalu. Diperlukan upaya mengingat fakta-fakta masa lalu dan melakukan penilaian moral secara jujur terhadap kesalahan, ketidakadilan, dan luka masa lalu itu.
Pemaafan politik bukan menutup-nutupi konflik. Bukan pula mentoleransi tindakan seseorang selama berkuasa. Juga bukan membebaskan hukuman terhadap pelaku kejahatan masa lalu, tapi tercapainya rekonsiliasi.
Rekonsiliasi itu upaya mengubah bentuk luka masa lalu secara inklusif demi kebaikan bersama tanpa rasa dendam yang dapat memberikan alternatif terhadap resolusi konflik dan percepatan proses perdamaian (peacemaking). *
* Ridhazia, dosen senior Fidkom UIN Sunan Gunung Djati Bandung, jurnalis dan kolumnis, pemerhati psikologi dan komunikasi sosial politik, bermukim di Bandung, Jawa Barat.