Oleh Ridhazia
Itulah dunia maya. Dunia media sosial. Bebas sebebas-bebasnya. Dunia baru ini hadir tanpa kelas. Siapa saja, kapan saja dan dimana saja boleh menumpangkan pikiran dan perasaan. Bahkan gambar atau foto diri yang tak penting dipublikasi pun.
Pendek kata, menulis di media sosial itu senyaman- nyamannya pikiran dan perasaan untuk bisa dibagi ke ruang publik. Bisa lebih ekspresif memenuhi kebutuhan fantasi dan informasi.Terbuka dan terluas peredarannya. Juga terbuka tanpa sekat-sekat aturan. Terluas karena bisa dibaca siapa saja tanpa sekat tempat dan kebangsaan.
Lebih merdeka lagi, menulis di media sosial tidak ada penjaga gawang (gatekeeper) sebagaimana kelaziman di media massa mainstream yang diperankan oleh redaksi, editor, jurnalis senior. Tak terkecuali alasan etik.
Urusan Sendiri
Menulis di media sosial itu urusan diri sendiri. Tanggungjawab sendiri. Resiko tanggung sendiri. Perbedaan persepsi, koreksi salah tulis hingga dinistakan menjadi keniscayaan.
Ada beberapa saran dari sebagian penulis populer. Sejatinya sebuah tulisan, hendaknya bertujuan. Cukupi literasi. Lengkapi data dan fakta. Bahkan uji kembali fakta dan data itu agar terhindari dari pemihakan yang tak beralasan. Apalagi termasuk penyebar berita bohong.
Menulis sesingkat mungkin menjadi alasan lain agar pendapat pribadi memiliki relevansi dengan pendapat para ahli atau penulis lain. Selain tidak menguras tenaga, juga agar gagasan yang ingin diungkapkan lebih fokus. Renyah dibaca dengan narasi yang tidak membosankan. Tidak terjebak waham kebesaran. Mempopularitas diri. Tapi niati saja berbagi ide dan gagasan yang memberi nilai manfaat. *
* Ridhazia, dosen senior Fidkom UIN Sunan Gunung Djati, jurnalis dan kolumnis, pmerhati komunikasi sosial dan politik, bermukim di Vila Bumi Panyawangan, Cileunyi, Kabupaten Bandung, Jawa Barat.