Kolom Sosial Politik
Oleh: Ridhazia
KALAUB di negeri ini antri menjadi presiden, apa pun kapasitasnya bahkan tanpa popularitas. Terlebih miskin elektabilitas. Keliling negara untuk menyapa rakyat. Senyam senyum. Sunas sinis pada calon lain. Pidato bak orator ulung. Puas ditepukin. Padahal peluangnya kecil.
Berbeda dengan Albert Einstein. Sang fisikawan malah menolak ketika diusulkan menjadi presiden Israel pada pilpres tahun 1952 yang ditawarkan oleh perdana menteri pertama sekaligus pendiri negara zionis, David Ben-Gurion. Ia berpeluang menang karena berdarah Yahudi yang cerdas. Kredibilitasnya melangit dan popularitasnya bukan kaleng-kaleng.
Alih-alih berbasa-basi sebagaimana calon pemimpin negara yang ingin terpilih rakyat Israel, ia saat itu malah berbalik mengecam keras gerakan Zionis dan menyamakan Partai Israel dengan Nazi. Lebih jauh lagi, ia memprediksi kehancuran Israel. Pria penerima Nobel ini malah menyatakan muak dengan tindak kekerasan Israel atas Palestina.
Penolakan ini dianggap sebagai sikap obyektif tentang kekejaman Israel terdokumentasi dalam suratnya — sebagaimana terangkum dalam artikel yang ditulis jurnalis asal Inggris, Yvonne Ridley — yang dimuat di laman Middle East Monitor (2021) lalu.*
Ridhazia, dosen senior Fidkom UIN Sunan Gunung Djati, pemerhati komunikasi sosial politik, bermukim Vila Bumi Panyawangan, Cileunyi, Kabupaten Bandung, Jawa Barat._