Opini

Mengapa Timbul Ide Pembubaran KPK dari Ketua Umum PDI P Megawati ?

213views

Oleh : Yoes Rizal Selian

MUNCULNYA  ide “pembubaran” lembaga anti rasuah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang merupakan lembaga paling kredibel dan aktif melakukan pemberantasan korupsi di Indonesia sesuai tugas dan fungsinya diperkirakan  menimbulkan kekhawatiran kepada pihak penguasa (pemerintah) dan pendukung pemerintah PDIP. Apalagi saat ini di tahun Politik (2023) menjelang pemilu 2024 yang tidak lama lagi akan digelar maka dengan gencarnya KPK melakukan aksi pengusutan tindak pidana korupsi di instansi pemerintah telah menimbulkan keresahan di hati para penguasa, seperti presiden, Ketua DPR RI dan pimpinan partai yang berkuasa PDIP. Karena hal ini bisa menimbulkan kepercayaan dari rakyat menjadi luntur dan bahkan bisa musnah dan juga berimbas memudarnya kepercayaan rakyat terhadap calon presiden yang diajukan PDIP pada Pemilu Pilpres 2024 Ganjar Pranowo.

Sejak tahun 2022  hingga  2023 ini KPK telah melakukan berbagai pengusutan tindak pidana korupsi yang terjadi di berbagai instansi dan lembaga pemerintah yang cukup strategis dan juga vital menangani keuangan negara dan hajat orang banyak, seperti  kantor pajak (Kementerian Keuangan), Bantuan Beras untuk warga miskin (Kementerian Sosial) serta proyek-proyek ”fiktif” di perusahaan-perusahaan milik negara (BUMN) dan Kementerian serta lainnya.
Kriminalisasi Terhadap KPK
Sebenarnya upaya untuk “Pelumpuhan” (kriminalisasi) terhadap KPK sudah dilakukan sejak 2 tahun yang lalu dengan mengubah status Pegawai KPK menjadi Pegawai ASN (Aparatur Sipil Negara) sehingga pegawai lama KPK bisa dimutasikan keluar dari KPK dan juga Pegawai ASN baru dari luar bisa dimutasikan ke KPK.

Selanjutnya seluruh aparatur KPK terdiri atas ASN dan Penyidik KPK diharuskan mengikuti Test “Wawasan Kebangsaan” dan 75 orang dinyatakan tidak lulus dari ribuan aparatur KPK serta dari 75 orang yang tidak lulus test termasuk Penyidik KPK handal dan telah dikenal luas masyarakat selama ini Novel Baswedan dan juga beberapa Penyidik KPK lainnya yang sangat dibutuhkan oleh KPK.

Demikian juga kriminalisasi untuk melumpuhkan KPK dilakukan dengan membentuk wadah baru “Dewan Pengawas” (Dewas) KPK dipimpin Tumpak Hatorangan Panggabean (Mantan Ketua KPK) dengan tugas dan funginya cukup membatasi dan melemahkan pimpinan dan Penyidik KPK dalam menjalankan tugas dan fungsinya. Sebenarnya di dalam KPK sendiri sudah ada Pengawas Intern KPK sehingga tidak perlu lagi adanya wadah Dewan Pengawas KPK (Dewas).

Namun, meskipun KPK sudah “Dikebiri” (kriminalisasi) tapi ternyata KPK masih bisa melaksanakan tugas dan fungsinya secara baik dan lancar meskipun tidak bisa optimal. Lembaga anti rasuah (korupsi) seperti KPK di Malaysia, Filipina, dan Hongkong sangat dihormati, berwibawa dan memiliki legimitasi tinggi karena mendapat dukungan kuat dari pemerintah (Persiden/ Perdana Menteri) dan pimpinan Parlemen/ DPR serta partai yang berkuasa pendukung pemerintah.

Demikian juga pimpanan dan Penyidik KPKnya tidak berasal dari Kepolisian, Kejaksaan, dan Pengadilan Negeri di negara tersebut sehingga KPK bisa melaksanakan tugas dan fungsinya secara  bebas dan profesional.
Jangan karena tikus maka lumbung padi “dibakar”. Dengan adanya ide dari Ketua Umum PDIP Megawati yang juga adalah mantan presiden untuk “membubarkan” lembaga KPK yang sangat penting dan dibutuhkan oleh rakyat Indonesia dan negara maka patut disayangkan.

Hal ini karena lembaga “Nonpemerintah” KPK dibentuk pada zaman Presiden Megawati adalah saat itu akibat  merajalelanya korupsi di instansi pemerintah, legislatif, dan yudikatif sehingga para pakar hukum, masyarakat anti korupsi dan pegiat-pegiat anti korupsi mendesak Presiden Megawati agar membentuk Lembaga Anti Korupsi di Indonesia (KPK).

Oleh karena itu adanya ide dari Ketua Umum PDI.P Megawati untuk membubarkan KPK adalah tidak logis dan aspiratif serta sama halnya dengan slogan ”Jangan Karena Ada Tikus Maka Lumbung Padi Dibakar”.  Seharusnya yang dilakukan adalah agar “Tikus-tikus” yang ada di KPK dapat dimusnahkan yang kerjanya hanya membuat KPK menjadi “lemah” dan tidak “lerdaya” (kropos).

Dengan adanya ide pembubaran KPK karena di tubuh KPK terjadi berbagai kelemahan yang dilakukan pimpinan, penyidik, dan pegawai KPK maka hal ini sebagai alasan pembubaran KPK adalah kurang tepat karena proses pemilihan Pimpinan KPK (5 orang terdiri Ketua dan Wakil Ketua) dilakukan oleh suatu tim pansel diketuai Yenti Garnasih (Akademisi/Pakar Hukum) yang telah diseleksi dan disetujui oleh presiden.
KPK Jangan “Tebang Pilih” lagi.’Dan akhir-akhir ini memang KPK gencar melakukan pengusutan terhadap
kasus-kasus korupsi dan suap yang dilakukan Pejabat Negara seperti kasus korupsi dan suap pejabat tinggi di instansi pajak (Kementerian Keuangan) Rafael Alun Sambodo dan Kepala Kantor Pajak Makasar, Sulawesi Selatan Andhi Pramono serta yang merugikan negara cukup besar dan kasus Korupsi Gubernur Papua Lukas Enembe.

KPK dalam ketiga kasus kejahatan korupsi dan penyuapan yang dilakukan maka juga melakukan pengusutan terhadap pasal pidana “Pencucian Uang” dan demikian juga dengan kasus-kasus korupsi/suap lainnya maka KPK kini kerap mempergunakan Pasal Pidana “Pencucian Uang” (TPPU). Namun dalam kasus kejahatan kriminal melibatkan petinggi Polri seperti Irjen Pol Ferdi Sambo, Irjen Pol Teddy Minahasa dan Irjen Pol  Napoleon Bonaparte serta Irjen Pol Joko Susilo yang telah memperkaya diri dengan korupsi atau kejahatan lainnya maka seharusnya KPK melakukan juga Pasal Pidana “Pencucian Uang” (TPPU).

Jadi, dengan adanya perbedaan cara “Tebang Pilih” yang dilakukan KPK maka telah menimbulkan tanggapan bias dari kalangan masyarakat terhadap KPK dan apalagi saat ini Ketua KPK adalah berasal dari Perwira Tinggi Polri (Firli Bahuri) dan juga sebagian besar Penyidik KPK berasal dari Polri.

Dan memang sejak berdirinya KPK telah kerap dikriminalisasi, diserang dan bahkan dihajar oleh berbagai pihak yang belum siap menerima kehadiran KPK di Indonesia karena dianggap sebagai saingan atau penghalang kejahatan yang dilakukan bahkan sebagai bencana terhadap mereka. Oleh karena itu sudah banyak jatuh korban dari Pimpinan KPK (Ketua/Wakil Ketua) dan para Penyidik KPK seperti “Ditangkap” dan “Dikurung” di dalam sel “tahanan”, disiram matanya dengan “air keras”, “dikejar-kejar “ dengan ancaman senjata golok, ditarik tiba-tiba kembali ke kesatuan instansinya semula, ditabrak mobilnya dengan kendaraan mobil yang lebih besar dan dilempar “bom molotov” rumahnya dan tindakan lainnya.

Dengan demikian seperti yang ditulis oleh Jenderal TNI Dr. H Abdul Haris Nasution di dalam salah satu bukunya, Bahwa Pembangunan Moral Adalah Inti Dari Pembangunan Nasional” dan selanjutnya dikatakan :

“Sesungguhnya suatu negara berdiri adalah karena budi pekerti dan manakala akhlak mereka sudah pergi maka negara itu pun akan musnah sendiri”.

Alm. Jenderal Abdul Haris Nasution adalah bekas Panglima Kodam “Siliwangi” (Jawa Barat), Mantan Kasad, Mantan Panglima TNI dan Mantan Ketua MPRS RI. Setelah pensiun dari TNI dan tidak lagi di pemerintahan maka Jenderal Nasution aktif memberikan ceramah di berbagai instansi pemerintah dan TNI serta swasta dan juga menulis buku. Salah satu buku tulisannya yang terkenal dan menjadi “Book Office” berjudul “Memenuhi Panggilan Tugas” terdiri 10 jilid tentang perjalanan riwayat hidup dan perjuangannya sejak masa muda menjadi tenaga pendidik (guru) di Bengkulu, menjadi siswa Akademi Militer pertama Indonesia (Tangerang) di zaman Jepang, menjadi personil TNI (Tahun 1945-1967) dan bertugas di pemerintahan (Ketua MPRS RI) dan juga berbagai kisah lainnya.*

*Penulis adalah pemerhati korupsi dan penegakkan hukum di Indonesia serta pembela nasib “Wong Cilik” di Indonesia

Leave a Response