Maraknya Politik SARA
Oleh Elma Okta Dwina
Politik berbau suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA), nampaknya masih mewarnai perjalanan menuju Pemilu 2024. Setidaknya, hal ini sangat banyak didapati di platform media sosial.
Cara berpolitik ini menggunakan, memanfaatkan, dan mengeksplorasi identitas berdasarkan suku, agama, ras, etnis, antargolongan masyarakat (SARA) sebagai alat politik dan dimasukkan ke dalam turbulensi politik dengan tujuan untuk mendapatkan atau meningkatkan elektoral (keterpilihan) dari figur atau lembaga politik.
Isu SARA sebetulnya tidak boleh dimasukkan dalam permainan politik. Maka dari itu hal ini perlu dihentikan karena akan menimbulkan konflik dan perpecahan di masyarakat, apalagi dengan adanya media sosial di mana semua masyarakat interaksi masyarakat tidak dibatasi. Hal ini tentu tidak menguntungkan bagi pihak manapun
Lebih baik dan bermanfaat bagi demokrasi dan kemajuan bangsa jika persoalan SARA tidak dimasukkan ke dalam permainan politik. Kompetisi Pemilu harusnya diisi dengan pertukaran ide dan gagasan untuk membangun peradaban Indonesia, dari sisi kedaulatan pangan dari darat dan laut, konsep kemandirian ekonomi dan pemberdayaan UMKM, membangun teknologi modern, mendidik manusia yang unggul, cerdas dan berintegritas, dan topik-topik penting lainnya.
Karena masih tingginya potensi kerawanan politik SARA, tokoh agama juga harus digandeng agar tensi politisasi SARA khususnya di tempat ibadah bisa diredam. Selain itu, sangat penting bagi wartawan dan media penyebar informasi untuk menghindari menyebarluaskan informasi yang dapat memicu perpecahan dan sebaliknya, memprioritaskan untuk menjaga integritas jurnalisme. Ingatlah untuk selalu menyadari potensi konsekuensi dari apa yang diberitakan dan berusaha untuk menghasilkan informasi mendidik dan tidak merugikan pihak mana pun. *
* Elma Okta Dwina, mahasiswa Prodi Jurnalistik Fidkom UIN Sunan Gunung Djati, bermukim di Kabupaten Subang, Jawa Barat.