Kolom Sosial Politik

Ketika SUMPAH POCONG

97views

 

Oleh Ridhazia

Sumpah pocong menjadi tradisi lokal di Indonesia. Suatu ritual sekaligus kultural yang entah kapan dimulai dan entah siapa penggagasnya.

Tradisi ini tidak terkait suatu agama atau keyakinan. Juga bukan hukum positif Tanah Air. Tapi esensinya sebagai tradisi untuk menyatakan diri kepada publik atau pihak yang berperkara kalau seseorang tidak bersalah.

Saka Tatal

Sebagaimana sumpah pocong yang dilakukan mantan terpidana kasus Vina dan Eki Cirebon Saka Tatal. Ia bersikeras kalau dirinya maupun ketujuh terpidana lainnya yang divonis penjara seumur hidup tidak melakukan tindak pidana pembunuhan sebagaimana disangkakan.

Layak Mayit

Ritual sumpah pocong yang dijalani Saka Tatal dilakukan d Padepokan Agung Amparan Jati, Kecamatan Plumbon, Kabupaten Cirebon, Jumat (9/8/2024).

Layaknya mayit ia dibaluti kain kafan dan membujur arah utara.  Kain kafan itu pun dilengkapi dengan ‘bumbu-bumbu mayit’, seperti bubuk kayu cendana, kapur barus, daun pandan dan bunga.

Setelah persiapan usai, seseorang dari pihak padepokan lantas mengumandangkan adzan sekaligus iqomat sebelum sumpah dinyatakan.

Tradisi ini mengisyaratkan konsekuensinya bagi yang bersumpah. Apabila keterangan atau janjinya tidak benar, yang bersumpah diyakini mendapat hukuman atau laknat dari Tuhan.

Mubahalah

Meski tradisi ini dilakukan sebagian pemeluk agama Islam dan pembacaan ikrar dilakukan di masjid, menggunakan Al-Qur’an, para ulama sepakat bukan berasal dari ajaran Islam.

Sumpah menurut fiqih adalah meneguhkan suatu perkara atau menguatkannya dengan menyebut nama Allah SWT atau salah satu sifat-Nya ketika menghadapi lawan yang batil dan menentang kebenaran tapi mengalami jalan buntu

Pun, Nabi Muhammad mengingatkan umatnya berhati-hati dalam bersumpah. Sebab ajaran Islam hanya mengenal mubahalah. Yakni bentuk kesepakatan yang berperkara untuk saling memohon dan berdoa kepada Allah SWT agar Dia melaknat dan memberi azab pihak yang batil.

Hukum Positif

Sumpah dalam hukum positif diatur menjadi dua macam yaitu Sumpah Suppletoir dan Sumpah Decisoir.

Sumpah Supletoir atau sumpah tambahan. Dilakukan apabila sudah ada bukti permulaan tetapi belum bisa meyakinkan kebenaran fakta.

Dalam keadaan tanpa bukti sama sekali, hakim akan memberikan sumpah decisoir atau sumpah pemutus yang sifatnya tuntas, menyelesaikan perkara agar memperoleh kebenaran yang hakiki.

Sekaligus sumpah jenis ini untuk memberikan dorongan psikologis pada pengucap sumpah untuk tidak berdusta.

Perdata

Di Indonesia, sumpah memang diakui sebagai alat bukti dalam peradilan perdata dan diatur dalam pasal 177 jo pasal 155 dan 156 Het Herzienne Indonesische Reglement (“HIR”) sebagai alat bukti paling akhir dalam perkara perdata. Selain alat-alat bukti lainnya yaitu alat bukti surat/tulisan, saksi, persangkaan-persangkaan, dan pengakuan (pasal 164 HIR).

Arti sumpah dalam konteks peradilan perdata yaitu ketika sebelumnya ada suatu keterangan yang diucapkan oleh salah satu pihak, dan keterangan tersebut kemudian diperkuat dengan sumpah. Sumpah ini diucapkan di depan hakim yang mengadili perkara karena dalam sistem pembuktian hukum acara perdata mengakui keyakinan hakim sebagai unsur yang menentukan dalam pembuktian

Dengan catatan sumpah ini harus bersifat Litis Decissoir, yaitu benar-benar mengenai suatu hal yang menjadi pokok perselisihan. *

* Ridhazia, dosen senior Fidkom UIN Sunan Gunung Djati, jurnalis dan kolumnis, pemerhati psikologi dan komunikasi sosial politik, bermukim di Vila Bumi Panyawangan, Cileunyi, Kabupaten Bandung, Jawa Barat.

Leave a Response