Oleh Ridhazia
Ia memilih berkumpul dengan teman-temannya. Alih-alih melarikan diri sebelum akhirnya meminum secangkir air beracun. Harga pengorbanan yang diberikan untuk memperoleh kebebasan akal harus dibayar dengan kematian.
Peristiwa bersejarah yang tragis pada awal abad 399 SM karena sang filsuf yang kerap berpikiran kritis dan skeptis disangkakan penguasa merusak pikiran publik kota Athena. Juga dianggap tak memiliki rasa hormat dan terasa aneh dalam relasi sosial.
Itulah SOCRATES. Anak seorang pembuat patung batu. Tapi ia menjadi cerdas di antara teman sezamannya dan menjadi generasi pertama dari tiga ahli filsafat besar dari Yunani, yaitu Socrates, Plato, dan Aristoteles.
Dialektika
Sang filsuf terkemuka karena berpikir dialektika. Sebuah model berpikir dari muasal dari pernyataan ” yang ia ketahui hanya satu bahwa ia tidak tahu. Sebab itu ia bertanya”.
Hal unik dari Socrates adalah ia tidak pernah tertarik dengan memenangkan sebuah debat atau argumentasi. Karena baginya, hal itu tidaklah penting, sebab yang terpenting adalah bagaimana memahami diri dan barulah kita mencoba mengerti tentang kehidupan.
Socrates dilukiskan sebagai filsuf yang tidak pernah tertarik dengan memenangkan sebuah debat atau argumentasi. Bertanya untuk menemukan jawab baginya adalah jalan untuk memperoleh pengetahuan. Itulah permulaan dialektik yang selama dikenal di kalangan pemikir.
Hal lain yang patut dikenang sebagai unik dari Socrates adalah ia tidak pernah tertarik dengan memenangkan sebuah debat atau argumentasi. Karena baginya, hal itu tidaklah penting, yang terpenting adalah bagaimana memahami diri untuk bisa mengerti tentang kehidupan.
Siapakah diriku…
Pertanyaan-pertanyaan seperti, “Siapa aku?”, “Kenapa aku bisa berpikir tentang siapakah diriku yang sebenarnya?”, “Mengapa aku dilahirkan ke dunia?”, hingga “Adakah kehidupan sebelum aku terlahir di dunia?” menjadi serangakaian permulaan bagaimana manusia terlahirkan sebagai makhluk berpikir.
Socrates dilukiskan penerusnya sebagai filsuf pertama yang membentuk definisi dari kebaikan. Baginya kebaikan menjadi alasan ketenangan berpikir. Sekaligus melakukan hal yang benar. *
* Ridhazia, dosen senior Fidkom UIN Sunan Gunung Djati, jurnalis dan kolumnis, pemerhati komunikasi sosial politik, bermukim di Vila Bumi Panyawangan, Cileunyi, Kabupaten Bandung, Jawa Barat.