Kolom Sosial Politik

Dilema Citra Kecanggihan, Akurasi dan Kepercayaan

298views

 

Oleh Emeraldy Chatra

Ketika menjadi pembicara di sebuah forum seminar seorang dosen senior setengah curhat tentang ‘ketertinggalan’ dosen yang dididik dengan sistem jadul di hadapan mahasiswanya yang Gen Z atau Gen Alfa. Katanya, sekarang dosen harus belajar keras agar tidak dianggap bodoh oleh mahasiswa yang sudah menguasai berbagai software pengolah data penelitian. Mahasiswa sudah tahu bagaimana menggunakan aplikasi – misalnya NVivo, Transana atau MAXQDA Analytics Pro – sementara dosen masih mengolah data secara manual.

Dosen senior itu menggebu-gebu mendorong peserta seminar agar segera mempelajari berbagai software pengolah data. Bila perlu departemen atau fakultas menyediakan anggaran kursus bagi dosen-dosen. Sediakan pula anggaran untuk membeli perangkat-perangkat lunak pengolah data itu.

Saya kemudian berkomentar. Kalau mahasiswa lebih pintar daripada dosen tentu itu malapetaka bagi dunia pendidikan. Artinya, dosen tidak lagi dibutuhkan. Untuk apa belajar kepada orang yang lebih bodoh? Lembaga pendidikan tinggi pun, dengan sendirinya tidak lagi dibutuhkan dan selayaknya dibubarkan karena lembaga itu peninggalan peradaban kuno.

Dosen senior itu agak panik mendengar komentar saya. Ia pun tak bisa menyembunyikan kepanikannya ketika saya bertanya tentang akurasi dari perangkat-perangkat lunak pengolah data itu. Memang benar, software itu bisa mengolah data dalam volume besar dan cepat. Tapi bagaimana kita bisa tahu bahwa hasilnya akurat atau tidak?

Saya tidak asal bertanya agar ia jadi gelagapan. Ada dasarnya. Ketika masyarakat dibuat panik oleh Covid-19 seorang youtuber memeriksakan diri lima kali dalam sehari di lima laboratorium. Kelima labor itu menggunakan perangkat digital canggih, diimpor dari luar negeri.

Hasilnya mencengangkan. Tes pertama dan keempat mengatakan youtuber itu positif Covid-19. Tes kedua, ketiga dan kelima mengatakan negatif. Jadi, mana yang benar. Dia positif atau negatif Covid? Tidak ada jawaban yang pasti.

Seorang yunior saya pernah pula melakukan tes gula darah di lima apotek di Pekanbaru di hari yang sama. Tiga tes menyebutkan kadar gulanya kurang dari 140 mg/dL, sedang dua lagi di atas 200 mg/dL. Lantas kesimpulannya apa? Dia kena diabetes atau tidak? Bingung kan?

Saya pun pernah melakukan tes gula darah dengan sebuah perangkat digital yang saya beli di pasar. Saya coba mengukur kadar gula dari tetes darah yang sama sebanyak tiga kali. Hasilnya, tidak sama. Kok bisa hasilnya berbeda sementara darah yang dites tidak berbeda?

Dengan menceritakan kasus-kasus pengukuran di atas bukan berarti saya menolak penggunaan software pengolah data. Menolak akan dianggap anti kemajuan, anti kecanggihan teknologi. Lebih gawat lagi, saya akan dianggap sisa-sisa masyarakat peradaban kuno. LoL.

Namun dalam menghadapi perkembangan teknologi sekarang ini saya perlu mengingatkan agar kita tidak terlalu terpesona oleh citra kecanggihan sebuah alat. Makin canggih teknologi alat makin banyak misterinya. Makin jauh kita dari pengetahuan tentang cara kerja teknologi itu.

Misteri di balik kecanggihan itu adalah peluang bagi sebagian orang untuk menipu. Tidak selalu piranti yang kita anggap canggih itu menghasilkan sesuatu yang akurat. Apalagi kalau piranti itu diproduksi oleh perusahaan yang berbeda dan kita tidak dapat memiliki semua alat itu lantaran harganya selangit.

Dengan demikian terlalu percaya kepada alat bukan tanpa bahaya. Hasil penelitian kita mungkin tidak benar, tapi karena diolah dengan software mahal dan bercitra canggih, kita ditekan agar percaya saja pada hasilnya. Seolah-olah meragukan hasil perangkat berteknologi canggih itu sebuah kesalahan yang dapat melemparkan kita pada masa peradaban primitif. *

* Dr Emeraldy Chatra, M.I.Kom adalah Ketua Program Magister Ilmu Komunikasi, FISIP Universitas Andalas, tinggal di Padang, Sumatera Barat.

Leave a Response