178views
Kota Bandung, BANDUNGPOS.ID: Catatan kecil tapi penting untuk menunjukkan arti #inklusivitas sebuah galery/museum bagi warga difabel. Saya meminta dua sahabat saya relawan Pergerakan DILANS Indonesia: Berliani Fauziyah dan Ramdan Alamsyah yang ikut rombongan tour ke NU Arts menikmati karya-karya besar dari pematung Nyoman Nuarta, salah satunya patung Garuda Windu Kencana (#GWK). Keduanya mahasiswa difabel netra.
Konon patung yang sudah berdiri tegak di Bali ini, memakan waktu sekitar 28 tahun sampai bentuknya seperti sekarang. Mengalami banyak peubahan desain karena alasan teknis ataupun berbagai alasan lainnya. Peubahan-peubahan itu divisualisasikan dalam bentuk rangkaian miniatur.
Saya meminta kedua sahabat saya yang netra ini untuk merasakan peubahannya sambil dipandu oleh salah seorang kurator di Museum. Keduanya merasakan sensasi yang luar biasa yang mungkin menjadi pengalaman yang tak akan dilupakan sepanjang hidupnya. Dan mungkin akan diceritakan ke kawan-kawannya sesama difabel netra.
Jadinya tidak ada kesenjangan pengetahuan yang didapat, ntah itu seorang difabel maupun non-difabel. Inilah dimensi dari slogan “No One Left Behind”. Dan yang lebih penting lagi, setiap “peubahan” itu sebuah proses. Barangkali ini renungan pembelajarannya.
Karena proses itulah, slogan ini harus disandingkan dengan slogan lainnya yang tak kalah pentingnya, “Nothing about Us Without Us”.
Masih banyak tantangan untuk soal ini. Berbagai inisiatif dari ruang pamer/galery yang saat ini menggelinding seperti “Open Arms” yang diinisiasi Selasar Sunaryo atau lainnya harus terus digulirkan tanpa henti. Dengan begitu, “inkluivitas” nilainya menempel pada berbagai instalasi sosial yang didesain dan dibangun, dan bukan sekedar label karikatif. * (rm/BNN)
add a comment