Oleh Ridhazia
Peneliti Sekolah Sejarah, Budaya dan Komunikasi Erasmus Departemen Media dan Komunikasi Daniel Trottier menduga media sosial digunakan para penggiat politik untuk berbalas dendam. Lebih jauh main hakim sendiri untuk membuat citra buruk.
Pendek kata platform media sosial berubah menjadi media teror dan hukuman sosial secara virtual untuk lawan politik. Alih-alih bisa berdiskusi inter subyektif secara inten dan tidak monolitik. Menjauh dari keharusan berargumentasi yang berpangkal dari akal sehat.
Sang peneliti juga membaca kecenderungan yang sama buruknya ketika ruang digital yang sejatinya terbuka justru dikondisikan tidak netral lagi. Media sosial menjadi mesin perang untuk memborbardir lawan. Atau setidaknya diisi pesan-pesan prasangka buruk. Juga digagas untuk menyiapkan diri dari serangan lawan yang akan mematikan gagasan yang berbeda.
Ruang publik
Munculnya gerakan sosial baru di ruang virtual merupakan kajian menarik setelah Rheingold (1993) mencoba merumuskan konsep masyarakat virtual. Gerakan sosial baru saat ini mulai masuk di ruang publik virtual sebagai ruang berbagi untuk publik.
Ruang publik yang dipopulerkan oleh Habermas merupakan tinjauan sejarah atas diskusi kritis dalam menyikapi realitas politik yang terjadi pada masyarakat abad ke-18.
Kemunculan internet sebagai media baru memberikan andil bagi transformasi politik. Sejumlah kajian menunjukkan bahwa ruang virtual telah mampu menjadi ruang publik bagi politisi untuk mempertahankan diri serta melakukan “perang” pengaruh melalui aktivitas kolektif partai politik yang digerakkan oleh aktor-aktor tertentu.
Bahkan sejumlah riset politik di ruang virtual melahirkan konsep baru dalam berdemokrasi yaitu demokrasi digital, e-democracy, dan cyberdemocracy. *
* Ridhazia, dosen senior Fidkom UIN Sunan Gunung Djati, jurnalis dan kolumnis, pemerhati komunikasi sosial politik, bermukim di Vila Bumi Panyawangan, Cileunyi, Kabupaten Bandung, Jawa Barat.