“Jadi, data tersebut merupakan jumlah akumulasi sejak tahun 1991, bukan data 1 tahun. Kasus ini akumulatif selama 31 tahun,” kata Direktur Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (P2P) Kementerian Kesehatan Maxi Rein Rondonuwu seperti dilansir news antara di Jakarta, Senin (29/8/2022).
Berdasarkan data pengidap HIV yang dihimpun Kemenkes sejak 1991 hingga Agustus 2022 di Kota Bandung, kata Maxi, berjumlah total 10.700 kasus, sebanyak 407 dialami kelompok berisiko tinggi dari kalangan mahasiswa.
Ia mengatakan tren peningkatan kasus per tahun di Kota Kembang itu relatif tidak terlampau tinggi. Capaian tertinggi yang pernah dilaporkan terjadi pada 2019 mencapai 25 kasus dalam setahun.
Berdasarkan data epidemiologi HIV secara nasional, kata Maxi, jumlah kasus paling tinggi berada di DKI Jakarta sekitar 90.900 kasus, disusul Jawa Timur, Jawa Barat, Jawa Tengah, Papua, Bali, Sumatera Utara, Banten, Sulawesi Selatan, dan Kepulauan Riau.
Maxi mengatakan Pemprov Jabar dan Pemkot Bandung termasuk daerah yang memiliki program penanggulangan HIV/AIDS yang sangat baik secara nasional.
Salah satunya, berdasarkan hasil pelacakan kasus yang bergulir secara konsisten setiap tahun rata-rata melebihi 75 persen target untuk menemukan pasien dan penanganan pengobatan.
“Kota Bandung sangat intensif melakukan skrining terutama pada populasi kunci, salah satunya mahasiswa,” ujarnya.
Kemenkes mendorong seluruh pemerintah daerah untuk mengintensifkan pelacakan kasus yang menyasar sejumlah populasi kunci, di antaranya lelaki seks dengan lelaki (LSL), pekerja seks komersial (PSK), dan mahasiswa.
“Populasi kunci yang paling tinggi persentasinya, yaitu LSL mencapai 49-50 persen,” katanya.
Selain itu, juga perlu diwaspadai penularan HIV pada ibu hamil menyusul temuan kasus di Jawa Barat mencapai 14 persen. “Yang paling penting pelacakan di populasi kunci perlu edukasi agar ada kesadaran melakukan testing,” katanya.